Keberhasilan di masa lampau tersebut tidak terlepas dari kuatnya komitmen Kostrad dalam menjalankan peran sebagai Bhayangkari negara dan bangsa (dalam menjalankan ”politik negara”) serta profesionalitas yang tinggi sebagai prajurit TNI, sebagaimana tercermin dalam pedoman Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Sapta Marga ke- 1 s/d 4 menekankan peran TNI termasuk Kostrad dalam menjalankan politik negara, dalam hal ini sebagai kekuatan Moral-Kultural. Sedangkan butir ke- 5 s/d 7 berkaitan dengan profesionalitas sebagai prajurit TNI dalam menjalankan peran sebagai kekuatan Pertahanan.
Penting dan strategisnya peran Kostrad pada masa lampau seyogianya diaktualisasikan kembali dalam konteks kekinian, terutama ketika bangsa-negara berada dalam situasi yang sulit seperti sekarang. Setidaknya ada tiga poin kritis yang mewarnai kehidupan bangsa dewasa ini dan tentunya akan berpengaruh besar terhadap peran, fungsi dan tugas pokok Kostrad.
Pertama, bangsa Indonesia sedang dalam masa transisi demokrasi yang amat sarat dengan kerawanan dan potensi konflik. Demokratisasi politik maupun ekonomi yang amat liberal dan terlampau idealistis tanpa disesuaikan dengan kondisi lokal keindonesiaan telah melahirkan kesenjangan (gap) yang amat lebar antara sistem politik/ekonomi yang dipacu amat cepat dengan kultur masyarakat termasuk elitenya yang masih tertinggal, sehingga buahnya adalah konflik horizontal maupun vertikal yang setiap hari dapat kita saksikan di layar televisi. Contoh aktual adalah tewasnya Ketua DPRD Sumatra Utara akibat kekerasan massa demonstran penuntut pemekaran/pembentukan Provinsi Tapanuli.
Pelaksanaan demokrasi liberal dalam kultur politik masyarakat yang belum cukup matang tersebut justru membahayakan persatuan bangsa, keutuhan negara dan keselamatan rakyat Indonesia. Kultur politik yang matang mengindikasikan kesiapan mental rakyat untuk berdemokrasi. Cirinya adalah sikap apresiatif, toleran terhadap perbedaan, sportif (fair), berani mengakui kekalahan sendiri dan menghargai kemenangan/keunggulan pihak lain, serta mengedepankan etika politik/demokrasi. Sisi negatif lainnya dari demokratisasi (liberal) adalah ”suburnya tribalisme” atau orientasi etnisitas yang memandang etniknya sebagai bangsa dan ingin merdeka sehingga muncul separatisme. Uni Soviet sebagai contoh, memiliki 140 etnik dan setelah terjadi reformasi dinegrinya pecah menjadi 15 negara (bayangkan Indonesia yang terdiri dari 1072 etnik), dari sudut pandang ini kita bisa menangkap siluet separatisme yang cukup tinggi di Indonesia. Demokratisasi juga melambungkan apresiasi terhada HAM yang terkadang berlebihan, era globalisasi menjadikan kalangan aktivis HAM sebagai kosmopolis, berpandangan bahwa Hak Asasi Manusia berada di atas segalanya termasuk keutuhan bangsa dan negara. Mereka pun memiliki jaringan internasional yang amat kuat dan menguasai media.
Kedua, di bidang politik pada tahun 2009 ini kita akan melaksanakan Pemilu baik Legislatif maupun Presiden/Wapres. Berbagai kerawanan mengintip pelaksanaan pemilu tersebut, dari banyaknya parpol, kinerja KPU yang dinilai banyak pihak kurang profesional sampai dengan sistem suara terbanyak dalam pemilu legislatif ditambah dengan Zipper System untuk keterwakilan perempuan, kandungan potensi konflik di balik itu semua amat tinggi. Tingkat kedewasaan serta kepercayaan diri para politisi kita masih amat rendah sehingga upaya menarik-narik dukungan TNI untuk kepentingan kelompok/golongan masih terus berlangsung. Pada sisi lain pragmatisme di kalangan personel TNI pun masih cukup kental karena latar belakang ekonomi atau kepentingan jabatan. Dengan demikian netralitas TNI pasti akan mendapat ujian berat. Dalam konteks ini hendaknya TNI belajar dari pengalaman masa lampau, setelah tiga dekade lamanya TNI meninggalkan netralitas dan hanya mendukung salah satu parpol (Golkar), maka setelah reformasi TNI tidak kuasa menangkis hujatan dahsyat dan bertubi-tubi sehingga kehilangan kredibilitas cukup tajam di mata rakyat. Netralitas TNI mutlak sifatnya karena TNI merupakan benteng terakhir dalam mengawal keutuhan bangsa dan negara, sehingga hendaknya hal ini disadari benar-benar oleh seluruh prajurit Kostrad.
Ketiga, sejak krisis ekonomi 1997 sampai dengan sekarang bangsa kita masih menghadapi kondisi ekonomi yang kompleks, kemampuan ekonomi negara tidak kunjung membaik bahkan cenderung menurun, sehingga amat berpengaruh terhadap kemampuan anggaran pembinaan dan pembangunan kekuatan TNI. Padahal pada sisi lain pembangunan kekuatan TNI amat penting bahkan mendesak dalam rangka memelihara perimbangan kekuatan militer khususnya pada skala regional. Tidak bisa disangkal bahwa peran kekuatan militer dalam mendukung diplomasi amatlah menentukan, tanpa dukungan kekuatan militer yang memadai diplomasi akan tumpul karena tidak memiliki bargaining power yang cukup. Akibat dari kondisi ekonomi tersebut, TNI-AD termasuk Kostrad didalamnya menerima kenyataan pahit yang tidak bisa dihindari, jangankan untuk melakukan modernisasi alutsista/persenjataan, untuk memenuhi TOP (Tabel Organisasi dan Perlengkapan) saja sudah lebih dari satu dekade terbengkalai. Sebagai contoh di satuan Infantri, Senjata Lawan Tank (SLT) yang seharusnya ada di Kompi Bantuan serta Rocket Launcher (RL) yang harus ada di setiap Peleton Senapan sudah lama tidak terisi karena SLT Streem dan RL Instalanza yang dulu dipakai sudah lama expired. Demikian juga kondisi persenjataan di satuan Kavaleri, Artileri Medan, Artileri Pertahanan Udara, Zeni dan lainnya yang rata-rata sudah ketinggalan jaman.
Menghadapi kondisi kebangsaan dan kenegaraan yang penuh kerawanan, tantangan bahkan ancaman seperti digambarkan di atas, dengan realita yang ada Kostrad dituntut untuk terus memelihara, meningkatkan dan memperkuat perannya sebagai Kekuatan Pertahanan maupun Kekuatan Moral-Kultural. Dengan berpegang pada semangat dan amanat Sapta Marga, Kostrad harus senantiasa melakukan pembinaan agar memiliki kemampuan dan selalu siap untuk dilibatkan dalam menghadapi dan mengatasi berbagai tantangan dan ancaman terhadap NKRI.
- Masalah kedaulatan negara menyangkut konflik perbatasan. Kita perlu belajar dari kasus Sipadan-Ligitan yang telah ”dilepas” ke Malaysia dan belakangan Ambalat pun nyaris dicaplok oleh negeri jiran tersebut. Lemahnya kontrol dan pengawasan terhadap perbatasan termasuk pulau-pulau terluar dapat membuka peluang lebar bagi negara-negara asing utnuk menggerus kedaulatan negara dan bangsa kita. Dengan kata lain potensi konflik militer karena masalah perbatasan masih cukup tinggi mengingat perbatasan darat, laut dan udara kita amat panjang dan bersinggungan dengan banyak negara.
- Pengamanan dan perlindungan terhadap kekayaan bangsa dan negara. Sumber daya alam kita sangat kaya dan beranekaragam, namun belum sepenuhnya berada dalam kontrol kita dan pemanfaatan maksimal untuk Kepentingan Nasional. Akibatnya masih sering dan banyak terjadi pembalakan kayu (illegal logging), penyelundupan minyak (oil smuggling), pencurian ikan (illegal fishing) dan sebagainya yang sangat merugikan negara.
- Bahaya Narkoba yang sudah menggerogoti berbagai lapisan masyarakat terutama kaum muda, remaja dan anak-anak. Jika tidak ditanggulangi secara serius dan sistematis, kita dapat kehilangan generasi muda yang potensial sebagai penerus perjuangan bangsa ke depan.
- Paham dan jaringan terorisme global telah berkembang ke berbagai negara dan mengancam keamanan nasional kita. Fakta menunjukkan, kepentingan global telah berpenetrasi masuk ke wilayah negara dan bangsa kita, termasuk juga kepentingan kelompok radikalis-fundamentalis yang ’kawin’ dengan kelompok/kepentingan/paham serupa di tanah air kita.
- Bencana alam dapat dikatakan sudah menjadi langganan Indonesia, karena merupakan ciri alamiah dari geografis negara ini yang dikelilingi patahan-patahan bumi dan banyak terdapat gunung berapi sehingga potensi gempa bahkan tsunami sangat tinggi, namun tidak sedikit pula bencana alam yang terjadi karena ulah manusia seperti banjir, tanah longsor dan kebakaran termasuk kebakaran hutan.
- Perubahan iklim (climate change) yang sangat ekstrim karena pemanasan global (global warming). Salah satu dampaknya adalah krisis pangan dunia yang tentu saja akan berimbas pada kerawanan pangan di negeri kita.
- Secara lebih teknis-militer menyangkut masalah internal TNI/Kostrad, ada suatu persoalan penting yakni ketidaksesuaian doktrin pelaksanaan – atau lebih tepatnya pada level petunjuk lapangan (Juklap) – dengan kebijakan pertahanan dan kemampuan sumber dana yang ada. Contoh konkritnya, pada tingkat taktis doktrin militer kita selama ini merujuk/berkiblat pada Pentagon AS sehingga buku-buku petunjuk lapangan pun telah kita adopsi dari Pentagon sejak awal 1950-an. Padahal kita tahu bahwa Pentagon selain lebih berorientasi ke luar (sesuai kebijakan politik luar negerinya) juga ditunjang oleh kemampuan anggaran yang besar dan teknologi tinggi yang selalu diperbarui. Sehingga Daya Tempur militernya (Daya Tempur terdiri dari Daya Gerak dan Daya Tembak) dibangun dengan bertitik berat pada keunggulan Daya Tembak.
Orientasi doktriner-militer tersebut secara faktual dan prinsipil tidak sesuai baik dengan kebijakan pertahanan kita yang lebih bersifat defensif-aktif maupun dengan kemampuan anggaran pertahanan kita. Akan lebih tepat apabila orientasi doktrin TNI berkiblat pada Inggris misalnya yang dikenal sangat efisien. Mereka mengembangkan daya tempur pasukannya dengan bertitik tumpu pada keunggulan Daya Gerak. Sebagai contoh, pada saat menyerbu Malvinas pasukan Para Inggris diterjunkan beberapa kilometer dari titik sasaran, kemudian mereka bergerak untuk merebut sasaran yang ditentukan sehingga memperoleh pendadakan. Berbeda dengan pasukan TNI pada waktu perebutan Dili yang langsung diterjunkan di sasaran dengan dukungan bantuan tembakan yang minim, jauh dari mampu untuk mendisorganisir musuh (malah membuat musuh alert) sehingga akhirnya menimbulkan korban yang cukup besar di pihak TNI.
Semua masalah klasik dan aktual tersebut dapat dengan cepat berkembang menjadi ancaman nyata yang bila tidak diwaspadai atau ditanggapi segera maka potensial untuk sampai pada perpecahan bangsa atau teramputasinya wilayah kedaulatan Indonesia. Menghadapi berbagai tantangan/ancaman kontekstual tersebut, Kostrad dapat dan perlu memainkan peran strategisnya. Ada dua cara bertindak yang dapat ditempuh, yakni langkah internal dan langkah eksternal.
Secara internal langkah-langkah yang disarankan adalah:
- Kostrad harus menjaga soliditas dan keutuhan garis komandonya. Apalagi dalam situasi menjelang Pemilu, hal-hal tersebut menjadi sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan TNI termasuk Kostrad oleh pihak-pihak yang bermain di level politik praktis.
- Menegakkan meritokrasi (merit-based system) dalam pembinaan dan promosi personel Kostrad. Prestasi, kemahiran teknis, kemampuan dan reputasi di lapangan menjadi parameter utama dalam penilaian untuk promosi/demosi prajurit.
- Profesionalisme militer harus terus dikembangkan menyangkut keterampilan/kemahiran (military skills) maupun karakter/etika keprajuritan (military character/ethics). Mengenai pembangunan Postur (Kekuatan, Kemampuan dan Gelar), selama kemampuan anggaran belum mencukupi hendaknya Kostrad memfokuskan diri pada pemeliharaan/pengembangan aspek Kemampuan, termasuk di dalamnya kemampuan mengimplementasikan Hukum Humaniter, kemampuan mengakomodasi Teknologi Informasi serta kemampuan dalam berhubungan dengan Media Massa. Seyogianya diberikan porsi yang memadai untuk pelatihan hukum humaniter, terutama untuk menghadapi separatisme yang disertai pemberontakan bersenjata. Hukum humaniter memandu bagaimana cara membedakan antara kombatan dan non-kombatan. Misalnya seseorang (musuh) yang tampak berseragam militer belum tentu kombatan; perlu diteliti apakah ia bersenjata atau tidak, dan jika bersenjata apakah ia (berpotensi) mengancam/membahayakan petugas/masyarakat atau tidak. Jadi, menentukan kombatan atau non-kombatan (identifikasi) dan memutuskan untuk menembak atau tidak (justifikasi) sungguh diperlukan kecepatan dan ketepatan, bahkan hanya dalam hitungan detik. Jika tidak, ia menghadapi risiko “salah”: dibunuh, atau ia salah membunuh (akibatnya terjadi pelanggaran HAM). Dalam menghadapi gerilya pun hendaknya selalu ditanamkan dalam diri prajurit bahwa filosofi dasar perang gerilya adalah bagaimana memenangkan hati dan pikiran rakyat (how to win the hearts and minds of the people).
- Dalam aplikasi doktrin atau penerapan pelajaran-pelajaran taktik, hendaknya ada sikap fleksibel untuk penyesuaian dengan kondisi yang ada. Sebagai contoh, Juklap mengatakan bahwa dalam ”serangan” pada Jam-J kurang 10’ harus ada ”tembakan pendahuluan”. Apabila dalam kalkulasi taktis ternyata tembakan tersebut tidak membawa manfaat atau dengan gerakan senyap lebih menguntungkan, maka hendaknya tembakan pendahuluan tersebut tidak dilakukan. Sementara itu dalam jangka panjang perlu ada upaya untuk merubah doktrin taktis/operasional tersebut.
Jika aspek-aspek ini senantiasa dibina maka akan terpantul ”kesiap-siagaan” yang mewujud-nyata dalam jati diri Kostrad sebagai satuan TNI yang solid dan disegani oleh musuh-musuh negara/bangsa, sehingga memancarkan daya tangkal (deterrent effect) yang kuat.
Secara eksternal, langkah yang direkomendasikan sebagai berikut:
- Kostrad perlu memberikan kontribusi dalam upaya ”Konsolidasi Kebangsaan”. Dalam hal ini Kostrad memainkan peran Moral-Kultural untuk ikut aktif bersama komponen komponen strategis dalam menjaga keutuhan bangsa, kedaulatan negara dan keselamatan seluruh rakyat Indonesia. caranya adalah mendukung upaya mengembalikan kehidupan negara/bangsa kepada cita-cita Proklamasi, nilai-nilai Pancasila serta semangat dasar/spirit Pembukaan UUD 45.
- Kostrad dapat ikut membantu pemerintah mengatasi bahaya Rawan Pangan akibat perubahan iklim global. Misalnya dengan menggarap lahan tidur untuk menghasilkan bahan pangan, reboisasi, membantu perluasan areal sawah dan sebagainya.
- Kostrad harus senantiasa siap membantu pemerintah dalam menanggulangi bencana alam dan bahaya/situasi darurat lainnya (dengan bantuan kemanusiaan dan sebagainya). Secara konkrit, perlu disiapkan unit khusus yang bersifat tanggap-segera (semacam PPRC dalam menghadapi bencana) untuk bantuan kemanusiaan. Unit-unit ini seyogianya diadakan dan disiapkan di tiap satuan Kostrad setingkat Yon dan kemampuannya disesuaikan dengan karakteristik bencana alam yang biasa terjadi di daerah dimana home base Yon tersebut berada. Oleh karena banyak juga bencana alam yang terjadi karena ulah manusia maka sebagai kekuatan moral-kultural Kostrad juga harus turut serta dalam upaya pencerahan/penyadaran masyarakat berkaitan dengan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup, pencegahan bahaya kebakaran dan sebagainya.
Akhirnya, sebagai anak bangsa dan prajurit TNI yang tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan Kostrad, dengan bangga saya ucapkan: DIRGAHAYU KOSTRAD! Tetap jaya demi kehormatan negara dan bangsa tercinta!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar