31 Maret 2009

KETAHANAN PANGAN, MATI-HIDUPNYA SUATU BANGSA


Oleh Achmad Suryana dan Sudi Mardianto 

Meningkatnya harga bahan pangan pokok menjadi topik utama pemberitaan media massa cetak dan elektronik setiap memasuki bulan puasa dan menjelang hari-hari besar keagamaan. Untuk melukiskan kejadian tersebut, sebagian media massa memilih kata-kata hiperbola, seperti harga pangan mengamuk, melejit, membubung, meroket, tidak terkendali, dan lain-lain. 

Pada kejadian lain, saat kemarau tiba berita sawah kekeringan banyak menghiasi halaman depan media massa, dengan ungkapan: kita bakal menghadapi kerawanan pangan, atau produksi bakal merosot dan petani menjerit. 

Kedua contoh topik pemberitaan yang berulang setiap tahun tersebut membuktikan bahwa ketahanan pangan bangsa ini tetap menjadi perhatian masyarakat luas. Ketahanan pangan rumah tangga merupakan salah satu aspek pembangunan nasional yang tidak boleh diabaikan pemerintah, apabila pemerintah yang sedang berkuasa itu tidak mau menghadapi banyak masalah yang dapat muncul kemudian. 

Dalam sejarah Republik Indonesia, Presiden pertama RI, Sukarno menyadari betul betapa vitalnya ketahanan pangan ini bagi kelangsungan kehidupan bangsanya. Lima puluh tujuh tahun lalu, tepatnya 27 April 1952 dalam pidato pada acara Peletakan Batu Pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian, Universitas Indonesia di Bogor, Presiden Sukarno berucap "... apa yang saya hendak katakan itu, adalah amat penting, bahkan mengenai soal mati-hidupnya bangsa kita di kemudian hari ... oleh karena, soal yang hendak saya bicarakan itu mengenai soal persediaan makanan rakyat". 

Selanjutnya, dua pertanyaan penting disampaikan Bung Karno, yaitu: Cukupkah persediaan makan rakyat di kemudian hari? Jika tidak, bagaimana cara menambah persediaan makanan rakyat kita? Todongan Pistol? 

Dari penggalan pidato tersebut dapat diketahui bahwa Presiden Sukarno menyadari betul apabila negara tidak mampu menyediakan pangan yang cukup bagi rakyatnya, maka akan timbul keresahan sosial yang pada akhirnya dapat mengganggu kestabilan ekonomi dan politik. Ironisnya, pemerintahan Presiden Sukarno pada tahun 1965 jatuh, salah satu pemicunya adalah membubungnya harga bahan pangan, khususnya beras. Peristiwa yang hampir sama terulang kembali pada saat jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu, dalam waktu dua bulan harga beras meningkat tiga kali lipat dan masyarakat kota menyerbu toko dan supermarket untuk memborong bahan pangan. 

Sejalan dengan catatan sejarah tersebut, tidak salah jika David Nelson, seorang kolumnis menulis di Newsweek pada bulan April 1996 yang mengatakan bahwa shortage of food can lead to a civil war (kekurangan pangan dapat menimbulkan perang saudara). Kegundahan Presiden Sukarno saat itu didasarkan pada analisis yang menunjukkan pada tahun 1952 terjadi ketidakseimbangan antara produksi dan kebutuhan beras Indonesia. Pada saat itu, dengan jumlah penduduk sebanyak 75 juta dan konsumsi beras per kapita per tahun sebesar 86 kg (setara dengan 1.712 kkal/hari), maka kebutuhan beras dalam negeri mencapai 6,45 juta ton, sementara produksi beras nasional hanya mencapai 5,5 juta ton, maka terjadi defisit sebesar 0,95 juta ton (15% dari kebutuhan). 

Selanjutnya, Bung Karno memproyeksikan delapan tahun ke depan, yaitu tahun 1960. Dengan asumsi konsumsi beras per kapita tetap dan kemampuan memproduksi padi juga tetap, apabila penduduk bertambah delapan juta jiwa menjadi 83 juta tahun 1960, maka kebutuhan impor beras meningkat menjadi 2,2 juta ton (dengan tingkat konsumsi energi 1.712 kkal/hari). Apabila konsumsi energi yang ingin dipenuhi sesuai standar kecukupan (2.250 kkal/hari/orang), maka kebutuhan impor akan mencapai 6,3 juta ton, yang berarti 50 persen kebutuhan beras dipenuhi dari impor. Lantas, apabila kemampuan untuk memproduksi lemah dan devisa ataupun utang luar negeri untuk mengimpor tidak ada, maka rata-rata konsumsi energi per kapita akan menjadi 1.547 kkal/hari. Pada tingkat konsumsi energi seperti itu, orang tidak dapat hidup sehat, apalagi produktif.

Kondisi tersebut menurut Bung Karno akan menyebabkan "rakyat kelaparan, kocar-kacir dan menyedihkan secara permanen kuadrat". Dalam kalimat yang sangat tegas Bung Karno menyatakan ".... bahwa kita sekarang ini menghadapi hari kemudian yang amat ngeri, bahkan suatu todongan pistol 'mau hidup atau mau mati'...". 

Kondisi ancaman "todongan pistol" tersebut ternyata sampai saat ini masih relevan untuk tetap diwaspadai. Walaupun dalam 50 tahun produksi padi dapat ditingkatkan 5,9 kali lipat, (dari 5,5 juta ton tahun 1952 menjadi 32,5 tahun 2002), tetapi dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi (dari 75 juta menjadi 212 juta jiwa) dan peningkatan konsumsi beras per kapita per tahun yang besar (dari 86 kg menjadi 142 kg), maka Indonesia masih harus mengimpor beras sekitar satu juta ton, suatu jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan total kebutuhan. Sebagai perbandingan, satu juta ton beras impor tahun 2002 hanya sekitar tiga persen dari produksi domestik, sementara 50 tahun lalu jumlah itu setara dengan 15 persen. Fakta ini dapat dinilai sebagai prestasi dari para petani kita. 

Namun demikian, ancaman "todongan pistol" kerawanan pangan tersebut pada waktu yang akan datang masih tetap relevan apabila: (1) tingkat pertumbuhan penduduk tidak dapat diturunkan (saat ini 1,49 %/tahun), (2) kapasitas produksi pangan nasional tidak dapat dipelihara atau dipertahankan, antara lain karena konversi lahan yang tidak terkendali, dan (3) tingkat konsumsi beras/kapita tidak dapat diturunkan. 

Peningkatan 

Menghadapi persoalan pemenuhan kebutuhan pangan rakyatnya, dalam pidato tersebut Presiden Sukarno menguraikan upaya-upaya yang perlu dilakukan, yang ternyata masih sangat relevan hingga saat ini. Pada saat itu, Bung Karno mengatakan bahwa untuk meningkatkan produksi beras, upaya yang dapat dilakukan antara lain memperluas daerah pertanian di luar Jawa, mengintensivir (intensifikasi) usaha pertanian melalui pemupukan, seleksi benih unggul, dan memanfaatkan lahan kering dan ladang, dengan pengembangan perhewanan ternak (integrasi tanaman dengan ternak) dan mekanisasi. 

Menyadari pentingnya pemenuhan pangan bagi seluruh penduduk, setiap pemerintahan sesudah era Sukarno tetap mempunyai perhatian penuh pada upaya-upaya peningkatan produksi pangan yang berbasis pada kekayaan sumber daya domestik. Pada era Presiden Soeharto, kita mengenal berbagai program intensifikasi pertanian yang dikemas dalam gerakan bimbingan massal (Bimas). Pada saat ini, Presiden Megawati Soekarnoputri membentuk Dewan Ketahanan Pangan sebagai forum koordinasi perumusan kebijakan dan evaluasi pemantapan ketahanan pangan; yang mencakup ketersediaan, distribusi, dan konsumsi pangan; serta aspek mutu dan keamanan pangan. 

Dengan berlandaskan pada Keputusan Presiden No. 132 Tahun 2001, tentang Pembentukan Dewan Ketahanan Pangan, saat ini sudah 29 provinsi dan lebih dari 200 kabupaten/kota membentuk Dewan Ketahanan Pangan Daerah. 

Kembali pada upaya memantapkan ketahanan pangan untuk menghindari kondisi di bawah "todongan pistol mau hidup atau mati", secara umum ada dua kelompok besar upaya yang perlu dilakukan oleh pemerintah, bersama masyarakat. 

Pertama, peningkatan pasokan (produksi) dan penurunan permintaan (konsumsi) pangan. Peningkatan produksi pangan dapat dilakukan melalui: ekstensifikasi atau perluasan areal tanam, dengan arah pengembangan di Luar Jawa; rehabilitasi sarana irigasi yang saat ini ondisinya sudah sekitar 40 persen rusak; dan peningkatan indeks pertanaman melalui efisiensi
pemanfaatan air. 

Selain itu, peningkatan produksi pangan juga dapat dilakukan melalui peningkatan produktivitas atau intensifikasi seperti penggunaan benih unggul, pemupukan berimbang, pengendalian hama terpadu, dan efisiensi pemanfaatan air. Kegiatan lain yang juga dapat menyumbang pada penyediaan pasokan dari domestik adalah pengurangan kehilangan hasil saat panen dan pascapanen melalui introduksi alat mesin pertanian, termasuk teknologi penggilingan padi. 

Kedua, adalah diversifikasi pangan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Diversifikasi produksi dilakukan melalui (a) pengembangan pangan karbohidrat khas Nusantara spesifik lokasi seperti sukun, talas, garut, sagu, jagung dan lain-lain, (b) pengembangan produk (product development) melalui peran industri pengolahan untuk meningkatkan cita rasa dan citra produk pangan khas nusantara (image product) dan (c) peningkatan produksi dan ketersediaan sumber pangan protein (ikan, ternak) dan zat gizi mikro (hortikultura). 

Diversifikasi konsumsi pangan terkait dengan upaya mengubah selera dan kebiasaan makan. Karena itu, pokok kegiatan ini berupa peningkatan pengetahuan, sosialisasi, dan promosi mengenai pola pangan beragam, bergizi, berimbang. Pendekatan pengembangan diversifikasi konsumsi pangan jangan diidentikkan dengan ke-giatan pengentasan kemiskinan, tetapi merupakan upaya perbaikan konsumsi gizi dan kesehatan.

Dengan mengonsumsi pangan yang lebih beragam, bergizi, dan dengan kandungan nutrisi yang berimbang, maka kualitas kesehatan akan semakin baik. Hasil ikutannya adalah, konsumsi beras per kapita diharapkan menurun. Hasil ikutan ini sama pentingnya dengan pencapaian tujuan utamanya tadi. 

Apabila upaya-upaya tersebut di atas berhasil dilakukan maka: (a) produksi padi dan pangan sumber karbohidrat lain serta protein dan zat gizi mikro akan semakin meningkat, (b) konsumsi beras per kapita akan menurun, dan (c) kualitas konsumsi pangan masyarakat akan semakin beragam, bergizi dan berimbang.  

Dengan demikian pada akhirnya ketahanan pangan masyarakat Indonesia akan semakin  mantap, kita terlepas dari "todongan pistol" permasalahan pangan. Selain itu, negara ini akan didukung oleh manusia sehat dan produktif, sehingga mampu berkiprah sejajar dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain.  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar